Ragam Info dan Pengetahuan

Manusia itu seperti debu di luasnya samudera angkasa.

Thursday, July 27, 2006

BENCANA ITU DIKIRIM, KARENA KITA MEMINTANYA

Bencana demi bencana yang datang menimpa kita, bangsa Indonesia, nampaknya sudah saatnya direnungi secara sangat mendalam. Pemikiran Gus Mus yang saya ambil dari situs www.gusmus.net ini, perlu kita renungi. Agaknya kita memang harus mulai introspeksi, atau kalau sudah coba lebih jujur dan lebih dalam lagi, agar bencana tidak kembali terulang.

Saya sangat terkesan dengan penafsiran Gus Mus. Bisa jadi, memang selama ini kitalah yang meminta bencana itu dikirimkan. Sebagai orang yang sangat awam, tentunya pemikiran ini membuat saya introspeksi, jangan-jangan saya atau mungkin Anda juga termasuk orang yang meminta kiriman bencana itu. Astaghfirullah...

Lebih jelasnya berikut pemikiran Gus Mus selengkapnya.



Azab
20 Juli 2006 22:57:58
Oleh: A. Mustofa Bisri


Ada firman Allah dalam Al-Quran yang sering dibuat dalil --dan sudah sering saya bicarakan—yang terus digunakan dengan pemaknaan yang menurut saya kurang tepat. Yaitu...
......Yaitu “InnaLlaha laa yughayyiruu maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bianfusihim” (Q.13. Ar-Ra’d: 11) yang di zaman Bung Karno –untuk mendalili revolusi -- ditafsirkan: “Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib sesuatu bangsa kecuali bangsa itu merobah nasib mereka sendiri”. Sementara di zaman Pak Harto –untuk mendalili pembangunan-- ditafsirkan: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” dengan tambahan keterangan: Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka sehingga mereka merobah sebab-sebab kemunduran mereka. (Garis miring dari saya). Seperti diketahui, “nasib” dan “keadaan” digunakan sebagai terjemahan dari lafal “maa” dalam ayat tersebut. Setahu saya, dalam bahasa Arab, lafal “maa” adalah lafal mubham, tidak konkrit. Padanannya dalam bahasa Indonesia: “sesuatu” atau “apa”. Jadi terjemahan “keadaan” lebih dekat daripada “nasib” yang berkonotasi lebih konkrit. Namun bila kita mau cermat mencari konkritnya lafal mubham tersebut, kita bisa merujuk ke ayat yang mirip dengan ayat tersebut. Di Q. 8,. Al-Anfaal: 53, setelah Allah mengkhabarkan penyiksaanNya terhadap kaum terdahulu karena perbuatan mereka, Ia berfirman: “Dzaalika biannaLlaha lam yaku mughayyiran ni’matan an’amahaa ‘alaa qaumin hattaa yughayyiruu maa bianfusihim” “Yang demikian itu (siksaan itu) karena sesungguhnya Allah tidak akan pernah merobah nikmat yang Ia anugerahkan kepada sesuatu kaum sehingga kaum itu merobah apa yang ada pada diri mereka. Yakni Allah tidak pernah akan merobah nikmat yang dilimpahkan kepada suatu kaum menjadi laknat atau azab, selama kaum itu tetap bersikap taat dan bersyukur kepadaNya dan tidak merobahnya menjadi ingkar dan kufur (tidak bersyukur).
Alhasil; aslinya Allah melimpahkan nikmat kepada hambaNya. Kalau kemudian nikmat itu berubah menjadi laknat dan azab, hambaNya itu sendirilah yang menghendaki perubahan tersebut.
Sehubungan dengan itu, kita baca dalam Q. 7. Al-An’aam: 65, “Qul Hual qaadiru ‘alaa an yab’atsa ‘alaikum ‘adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiya’an wayudziiqa ba’dhakum ba’sa ba’dhin…” . “Katakanlah: ‘Dialah yang kuasa mengirimkan azab kepadamu dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Ia mengacaukan kamu dalam kelompok-kelompok (fanatik yang saling bertentangan) dan mencicipkan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain…”
Perhatikanlah kata yab’atsa, mengirimkan, dalam ayat ini. Tidak menurunkan atau menimpakan azab, tapi mengirimkan. Kiriman ada yang karena pihak pengirim memang berehendak mengirim; ada yang karena permintaan, seolah-olah memang ada yang meminta: “Mohon dikirim azab secukupnya!” (Kita pun tahu meminta seringkali tidak menggunakan kata-kata. Bisa hanya dengan isyarat, sikap, atau perbuatan).
Nah, apabila bencana-bencana yang menimpa kita sampai saat ini merupakan azab, tampaknya semua yang disebut dalam surah al-An’aam itu sudah ‘terkirim’ ke kita. Baik azab yang dari atas; dari bawah; maupun keganasan yang diperlihatkan melalui kelompok-kelompok fanatik yang saling bertentangan.
Pertanyaannya, apakah kita memang meminta kiriman azab-azab itu? Atau dengan ungkapan lain, apakah sikap kita memang menunjukkan kehendak merubah nikmat menjadi laknat? Jawabannya tentu saja terpulang kepada kita sendiri.
Kita dari mula dianugerahi negeri yang subur makmur, loh jinawi. Almarhum Syeikh Syaltut, mantan Syeikh Akbar Al-Azhar Mesir, ketika berkunjung ke Indonesia dan melihat keindahan negeri kita, sampai mengatakan bahwa Indonesia adalah ‘potongan sorga’. Saya sendiri menyebutnya dalam salah satu puisi saya sebagai ‘miniatur sorga’. Ada negeri yang hanya ingin menumbuhkan rumput, harus menyiraminya setiap hari. Di negeri kita pelok, biji mangga, dilempar begitu saja bisa tumbuh menjadi pohon mangga. Negeri kita kaya dengan emas, perak, timah, minyak, mutiara, dan kekayaan-kekayaan tambang lain. Kita kaya dengan hutan kayu; hutan bakau; rempah-rempah. Kita punya lautan luas dan sungai-sungai yang penuh dengan kekayaan isinya. Kita punya gunung-gunung dengan berbagai macam kandungannya dan kesuburan lereng-lerengnya. Dsb. dst..
Mengapa kita kemudian menjadi bangsa yang melarat dan banyak hutang, tergantung kepada bangsa lain dan kini malah terus-menerus ditimpa musibah? Mungkin kita bisa menjawab dengan cepat dan sederhana: itu karena salah urus. Tapi untuk lebih cermat, kita perlu meneliti sikap kita secara keseluruhan. Jangan-jangan sikap kitalah yang justru ‘meminta kiriman’ azab ini.
Kenikmatan berupa kekayaan alam itu dianugerahkan Allah untuk kaum, untuk kita semua; bukan untuk sebagian atau apalagi perorangan . Sayang banyak di antara kita yang tidak bersyukur tapi malah serakah dan takabur. Limpahan anugerah itu tidak dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, tapi dijadikan rebutan untuk memperkaya diri sendiri. Masing-masing hanya memikirkan kepentingannya sendiri-sendiri. Lebih buruk lagi; ketika bicara hak selalu mengedepankan diri sendiri, giliran bicara kewajiban selalu menunjuk orang lain. Kebenaran selalu diakui miliknya dan kesalahan selalu ditempelkan ke pihak lain. Begitu fanatiknya terhadap kepentingan diri sendiri atau paling banter kelompoknya sendiri, sampai-sampai tega merugikan kepentingan pihak lain, bahkan kepentingan bersama. Malah ada yang berani dengan enteng menggunakan firman Tuhan untuk mendukung kepentingannya itu. Ajaran-ajaran Allah pun dipilihi yang sesuai atau tidak bertentangan dengan kepentingan pihak sendiri. Kita tentu tidak menginginkan keadaan kita terus-menerus begini atau apalagi semakin buruk lagi. Maka untuk itu, paling tidak menurut saya, masing-masing kita perlu segera meneliti sikapnya sendiri dan merubahnya. Yang takabur segera berhenti dan merubah ketakaburannya dengan sikap tawaduk, rendah hati. Yang serakah segera berhenti dan menggantinya dengan sikap qana’ah, menerima sesuai bagian dan haknya. Dalam hal ini, yang korupsi segera berhenti; syukur mau mengembalikan hasil korupsiannya. Yang hatinya penuh kebencian, segera membersihkannya dan menggantinya dengan kasihsayang. Yang terbiasa memikirkan kepentingan diri sendiri, mulailah memikirkan kepentingan bersama. Yang selama ini menomorsatukan selain Tuhan, segera kembali menomorsatukanNya. Lalu bersama-sama –meski di tempat masing-masing sendiri—marilah kita beristighfar, memohon ampunan Allah atas segala kesalahan dan kekhilafan kita selama ini dan memohon petunjukNya. Allahummaghfir lanaa warhamnaa…
Siapapun yang membaca ini, pahamilah ini sebagai ilmu pengetahuan bagi kita. Terima kasih Gus Mus, dan maaf saya copy di blog saya ini. Semata-mata karena kekaguman dan memudahkan teman-teman saya membaca pemikiran seorang Gus Mus.

Wednesday, July 12, 2006


PENAMPAKAN MERAPI DI MALAM RABU

Tadi malam (malam Rabu) aku siaran sampai jam 02.00. Keluar dari studio ternyata langit begitu cerah, full moon, jutaan bintang, tanpa awan, dan ketika kutengok ke sebelah utara, wow....menakjubkan, Merapi benar-benar gagah dan angkuh berdiri tegak dengan jelas mengepulkan asap lurus ke atas dan belok ke timur.

Terus aku memandanginya dan keluarlah lava pijar itu...berkelok-kelok meluncur lumayan panjang dari puncak ke bawah. Aku langsung membelokkan motorku ke arah Monjali, tancap ke utara mendekati Merapi, ya...aku terus ke utara menyusuri jalan Monjali.

Sesampainya di perempatan kecamatan Ngaglik aku terus ke utara, begitu sepi, senyap, orang-orang semuanya tidur. Seandainya mereka tahu, pasti mereka akan mengikutiku melihat pemandangan yang .... masya Allah...indah banget.

Kurang lebih satu kilometer dari perempatan itu, aku menghentikan sepeda motorku, dan membelokkannya ke jalan desa di sebelah timur jalan. Lengang...tidak ada orang sama sekali...dingin...begitu menusuk...aku berhenti persis di tengah pesawahan. Wow...Merapi terus-menerus memamerkan lava pijarnya. Rasanya begitu dekat. Aku terdiam menikmati keindahan alam waktu itu. A wonderfull moment.

About Me

calm, biar lambat asal dahsyat, goin'with the flow. It's me.